Minggu, 31 Mei 2009

teori arsitektur 02.

PERUBAHAN FUNGSI BENTENG VASTENBERG

Benteng vastenberg merupakan bangunan peninggalan belanda yang didirikan oleh guberur jendral baron van imhoff pada tahun 1745 atau 32 tahun sesudah berdirinya Surakarta, sebagai benteng pertahanan di daerah jawa tengah.

Bentuk bangunan tidak banyak berbeda dengan benteng-benteng belanda di lain kota,seperti benteng vredenburg di jogja ,benteng ontmoeting di ungaran, yaitu berupa bujur sangkar yang ujung-ujungnya terdapat penonjolan ruang yang sama untuk teknik peperangan yang disebut seleka (bastion). Pintu masuk ada 2 yaitu barat dan timur dengan jembatan jungkit yang menghadap ke timur dan barat. Bangunan terdiri dari beberapa barak yang terpisah dengan fungsi masing-masing dalam militer. Di tengahnya terdapat lahan terbuka untuk persiapan pasukan atau apel bendera.

Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan kediaman gubernur jendral belanda (sekarang kantor walikota) di kawasan Gladak. Dan pada saat terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro, benteng ini juga digunakan sebagai tempat untuk mengawasi pergerakan Keraton Kasunanan karena Raja Surakarta, Paku Buwono VI membantu pergerakan Pangeran Diponegoro. Dan pada saat itu, Vastenberg juga menjadi awal kompleks hunian perkantoran. Letak benteng ini sangat strategis karena terletak di daerah pusat kota Surakarta dan berhadapan langsung dengan keraton. Bangunan benteng dikelilingi batu bata setinggi 6 meter dengan konstruksi bearing wall dan parit yang lebar dan dalam sebagai tempat pertahanan dengan penghubung jembatan angkat untuk menuju kepintu gerbang benteng yang menghadap ke barat

Perubahan benteng ini sangat erat kaitannya dengan perpindahan kepengurusan. Mulai jaman didirikan,yaitu jaman penjajahan belanda, jaman pendudukan jepang, dan jaman kemerdekaan.
Sejalan dengan perpindahan kepengurusan ini maka fungsi dari benteng pun berubah. Yaitu pada jaman penjajahan belanda sebagai tempat pertahanan yang berhubungan dengan rumah Gubernur Jendral dan juga untuk mengawasi pergerakan Keraton, pada jaman pendudukan Jepang digunakan sebagai pangkalan militer. Dan terakhir pada jaman kemerdekaan pernah digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mempertahankan kemerdekaan. Khususnya pada tahun 1970-1980-an benteng ini sering digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigade Infenteri 6/Trisakti Baladaya /Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya. Dan saat Orde Baru, benteng dialihkan kepemilikannya oleh pemerintah kota kepada perusahaan perorangan kemudian dialihkan lagi kepada pengusaha swasta lainnya yang menguasai aset berharga ini sampai saat ini.
Namun sayangnya, keberadaan benteng sebagai artefak historis kota, saat ini sangat terbengkalai dan tidak terurus serta tidak digunakan untuk fungsi-fungsi yang lebih sesuai dan bahkan, kalau kita masuk kedalam benteng maka yang kita lihat adalah sekawanan kambing yang sedang merumput.
Menurut rencana, maka di lokasi benteng mau didirikan hotel dan mall dan bangunan lain yang bernilai komersial. Dan hal ini bisa dijadikan sebuah bukti bagaimana Negara kita sebagai Negara berkembang memiliki kecenderungan untuk meniru Negara maju (demonstration affect), yang sering kali dicapai dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari berbagai paradigma (fusion effect) dan ingin mencapai prestasi yang oleh Negara-Negara maju dicapai berabad-abad hanya dalam beberapa dasawarsa (Horowitz,P.4). Hal ini menimbulkan terjadinya degradasi baik kualitas,visual maupun sosial.

Bila bangunan yang mewakili nilai-nilai sejarah,semacam benteng ini tidak diperhatikan atau bahkan digusur untuk pembangunan yang bernuansa modern, tanpa memperhatikan tata ruang kota dan segi historis keberadaan benteng, maka lenyaplah sebagian dari sejarah kota yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri bagi “kota budaya Surakarta”. Dan juga generasi yang akan datang tidak akan dapat lagi melihat sejarah daerah yang tercermin dalam lingkungan binaannya (benteng). Hal ini dikarenakan karena setiap kota berwajah tunggal (monotone) tanpa memiliki identitas. Sebagaimana diketahui kesinambungan masa lalu – masa kini – masa depan, yang mengejawantah dalam suatu karya arsitektur setempat merupakan faktor kunci dalam penciptaan harga diri, percaya diri, dan jati diri atau identitas suatu daerah. Keberadaan benteng ini akan mencerminkan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya dan peradapan masyarakatnya. Jadi hal yang paling baik dilakukan untuk mempertahankan keberadaan benteng ini adalah melakukan konservasi . Konservasi dapat dilakukan dengan cara adaptasi atau revitalisasi fungsi, karena benteng vastenberg memenuhi syarat sebagai bangunan yang mewakili suatu ragam karya arsitektur (bangunan militer),sebagai satu-satunya benteng kolonial yang ada di Surakarta (kelangkaan),sebagai saksi sejarah penaklukan Keraton (peranan sejarah), keberadaan benteng dapat memperkuat identitas sosial kota solo sebagai kota budaya (memperkuat kawasan didekatnya), dan benteng ini juga memiliki keistimewaan-keistimewaan lain. Sehingga keberadaanya perlu dipertahankan tetapi fungsinya harus diadaptasi dengan kondisi jaman sekarang misalnya digunakan sebagai sasana budaya atau tempat wisata. Dan diharapkan agar kepemilikan benteng diserahkan kepada pemerintah atau keraton sebagai penjaga sasana budaya untuk mengurusnya. Dan dalam mewujudkan hal ini maka dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, keraton kasunanan sebagai penjaga sasana budaya, investor sebagai pelaksana, maupun masyarakat kota, untuk memelihara,melestarikan dan mengembangkan kawasan benteng menjadi lebih baik. Dengan terintegrasinya keempat unsur ini maka upaya revitalisasi fungsi benteng sebagai sasana budaya pasti akan tercapai.
Upaya revitalisasi pada benteng jangan dilihat dari segi estetika semata, tetapi harus dilihat sebagai sebuah warisan budaya yang dalam bentuk fisik telah mencerminkan sejarah perkembangan masyarakat dan menjadi simbol kesinambungan yang jauh lebih panjang daripada masa hidup satu generasi atau akan menumbuhkan ikatan yang erat antara masa kini dan masa lampau dan menciptakan harga diri sebagai suatu bangsa. Dan dalam proses revitalisasi harus diperhatikan juga segi sosial ekonomi, Khususnya yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan perluasan lapangan kerja. Agar disamping memberikan pemasukan bagi daerah juga bisa digunakan untuk memperbaiki kualitas benteng. Contohya : sebagai sasana budaya maka didalam benteng ditempatkan barang-barang peninggalan kuno dan setiap pengunjung yang datang ditarik kontribusi atau bisa juga memanfaatkan ruang kosong ditengah (halaman benteng)sebagai tempat seminar atau pertemuan-pertemuan yang semuanya ini bisa mendatangkan pendapatan yang tidak sedikit.

Demikian diungkapkan guru besar UNDIP Prof.Ir.Eko Budiharjo Msc dalam dialog publik dengan tema “Benteng Vastenberg cagar budaya untuk publik” di Bale Tawangarum Kompleks Balaikota,selasa(17/2). Hadir pula sebagai pembicara Widya Widayati dari Balai Pelestarian Pusaka Indonesia. Dan hal yang patut juga diperhitungkan dalam merevitalisasi fungsi benteng adalah harus berpihak pada kelestarian dan keserasian lingkungan,baik dalam skala proporsi, tinggi, pola, bahan, tekstur dan pola pewarnaannya,contohnya penutup sebaiknya menggunakan genteng atau sirap sesuai dengan bahan atap yang sudah ada,ujar Habib Yahya dalam sosialisasi rencana pembangunan kawasan benteng vastenberg di aula gedung pasca sarjana UNS (5/1). Hadir pula menjadi pembicara, pakar AMDAL Guntur Riyanto, pakar hukum Pius Triwahyudi.
Kesimpulan :
Di dunia, yang tidak berubah adalah perubahan. Hal ini juga terjadi pada fungsi Benteng Vastenberg. Didirikan untuk pertahanan sekarang direvitalisasi untuk sasana budaya. Yang berubah adalah fungsi tetapi fisik tetap terjaga. Fisik mewakili identitas dan fungsi memberi kehidupan pada fisik. Keduanya saling tergantung.

Daftar pustaka :
Sidharta, eko budiharjo, 1989. konservasi lingkungan dan bangunan bersejarah di Surakarta.gadjah mada university prees.yogyakarta.
Wibawa, Samodra. 1991. Pembangunan Berkelanjutan : Konsep dan Kasus. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soeratman,darsiti,1989.kehidupan dunia keraton Surakarta.taman siswa .yogyakarta: tamansiswa
Wikipedia bahasa Indonesia,ensiklopedia bebas

Terima kasih
TUHAN MEMBERKATI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar